Kita harus Memahami Manfaat dan Risiko Obat Herbal

Ilustrasi SUPRIYANTO


Tidak ada obat generik herbal. Konsumen perlu mengetahui manfaat dan risiko penggunaan obat herbal dengan memahami kandungannya atau komposisi ekstrak yang digunakan, juga tentang tahapan proses produksinya.

Oleh MICHAEL HEINRICH

SUPRIYANTO

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/02/memahami-manfaat-dan-risiko-obat-herbal

Penggunaan obat-obatan herbal secara global meningkat pesat beberapa tahun terakhir. Banyak yang menganggap pengobatan alami ini sebagai pilihan yang lebih aman daripada pengobatan berbahan kimia karena komposisinya yang organik. Namun, sangat penting bagi konsumen untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan mengenai pemilihan dan penggunaan obat-obatan herbal.


Produk herbal pada dasarnya terdiri atas kombinasi kompleks bahan alami yang menunjukkan efek multifaset. Setiap produk obat herbal di pasar Indonesia dan negara lain akan berbeda tergantung pada budidaya pertanian tanaman obat, penanganan dan pengolahan panen, serta proses pembuatan obat dari formulasi hingga penyimpanan produk. Jadi, apakah ada obat generik herbal? Tidak.


Komposisi yang tepat dari produk-produk ini dapat sangat bervariasi, dipengaruhi faktor-faktor seperti sumber dan kontrol kualitas bahan baku, metode persiapan, dan analisis konsistensi produk akhir yang cermat. Mengingat banyaknya merek yang tersedia di pasar, menjadi sangat penting bagi konsumen untuk cerdas dalam memilih dan menggunakan produk herbal, khususnya mencegah beralih dari satu produk herbal ke produk herbal lain tanpa bukti uji kesetaraan atau ekuivalensi yang terdokumentasi.

Hal tersebut berlaku untuk produk yang tampaknya mengandung ”zat yang sama”. Demikian pula konsistensi batch yang berbeda, yaitu sistem kontrol kualitas yang menilai bahwa setiap batch adalah komposisi yang sebanding, merupakan persyaratan penting. Pemberian obat herbal yang tidak teruji berpotensi menimbulkan risiko dan efek buruk pada tubuh.

Indonesia, yang diakui sebagai salah satu produsen dan pengekspor obat-obatan herbal terkemuka, menempati peringkat ke-19 negara pengekspor obat herbal di dunia dengan pangsa pasar 0,61 persen dari 2019 hingga 2019. Keanekaragaman hayati Indonesia yang melimpah, dengan rangkaian menakjubkan dari 19.871 tanaman obat yang digunakan sebagai bahan tradisional, berarti Indonesia dapat memimpin dunia dalam memperkenalkan obat-obatan baru. Di antaranya telah teridentifikasi 16.218 tumbuhan, 9.600 tumbuhan diketahui berkhasiat obat, dan 200 spesies sebagai bahan baku industri obat tradisional.


Minat yang cukup besar terhadap obat-obatan herbal di kalangan konsumen Indonesia dapat dikaitkan dengan tradisi budaya yang mengakar dalam pembuatan jamu yang diwariskan secara turun-temurun. Keterjangkauan dan ketersediaan bahan baku yang mudah semakin berkontribusi pada popularitas luas dari jamu. Masyarakat Indonesia menaruh kepercayaan besar pada pengetahuan yang diberikan nenek moyang mereka sehingga memperkuat preferensi mereka untuk pengobatan alternatif daripada obat-obatan kimia/sintetis.


Untuk meningkatkan keamanan konsumsi jamu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerapkan kebijakan yang meliputi Ketentuan Dasar Pengelompokan dan Pelabelan obat bahan alam Indonesia. Saat ini Indonesia memiliki sekitar 12.000 jenis obat herbal tradisional, 86 obat herbal terstandardisasi (OHT), dan 24 obat fitofarmaka. Meskipun memiliki efek dan khasiat berbeda, ketiga kategori ini sering dianggap sebagai obat tradisional dengan efek yang sama menurut masyarakat.

Keunikan obat-obatan herbal


Sediaan obat herbal biasanya merupakan campuran kompleks dengan banyak potensi metabolit aktif atau dikenal sebagai senyawa sehingga ”bioekuivalensi” (dua produk dengan bahan aktif yang identik) tidak mungkin dilakukan. Membuat obat herbal yang berkhasiat membutuhkan sistem chemical, manufacturing,andcontrol (CMC) yang kuat untuk didokumentasikan dan diikuti dengan cermat. Hasilnya, ekuivalensi dapat ditetapkan untuk produk atau batch karena memiliki sumber yang setara dan pembuatannya mengikuti sistem produksi CMC yang ketat tersebut.


Untuk obat-obatan sintetis, pemerintah melakukan pengawasan guna memastikan sistem CMC dapat ditetapkan dan dipatuhi oleh semua pihak untuk mencapai standar kualitas, keselamatan, serta keamanan produk. Walaupun sudah ada CMC, tidak dimungkiri masih dibutuhkan bukti dokumentasi kesetaraan dalam efikasi dan keamanan penggunaan obat pada manusia untuk mendukung klaim.


Bahan aktif dan proses pembuatan produk obat herbal jadi sangat kompleks, dan membutuhkan langkah-langkah ketat untuk mencapai kualitas yang baik, serta komposisi yang konsisten sehingga memiliki sifat terapeutik. Oleh karena itu, penting bagi produsen obat-obatan herbal untuk terbuka dalam mengungkapkan dokumentasi lengkap mengenai komposisi obat dan proses pembuatannya. Selain itu, edukasi tentang hal ini harus diperluas ke berbagai pemangku kepentingan, termasuk distributor obat, dokter, apoteker, dan pasien.


    Membuat obat herbal yang berkhasiat membutuhkan sistem chemical, manufacturing, and control (CMC) yang kuat untuk didokumentasikan dan diikuti dengan cermat.


Standardisasi, seperti halnya mendefinisikan profil rinci dari metabolit aktif atau setidaknya profil yang kuat dari senyawa penanda yang relevan, merupakan peluang untuk menjamin kesuksesan pengembangan sediaan obat herbal yang kompleks. Oleh karena itu, sistem CMC yang kuat sangat penting dalam proses manufaktur untuk memantau dan mengontrol berbagai variabel yang dapat memengaruhi produk akhir.


Keabsahan sifat-sifat produk obat herbal dipengaruhi oleh setiap variasi dari variabel bahan dan cara produksi. Produk akhir obat herbal bahkan dapat kehilangan sifat-sifatnya apabila terjadi perubahan sumber produk atau suhu ekstraksi.


Sistem CMC yang terdefinisi dengan baik menetapkan metode standar untuk pembuatan dan kontrol kualitas sehingga memastikan bahwa produk obat herbal menunjukkan komposisi, keamanan, dan efikasi yang konsisten. Hal ini mencakup identifikasi dan kuantifikasi bahan aktif dan senyawa penanda, evaluasi ketidakmurnian dan kontaminan, serta penetapan proses produksi dan kontrol analitik yang sesuai.


Selain itu, hasil produk akhir dan cara penggunaannya secara klinis perlu dikontrol dengan hati-hati karena obat herbal memiliki mekanisme biologis yang kompleks pada manusia. Tolok ukur produk, yang dapat disebut ”specific evidence” produk kesehatan alami, perlu dikontrol mulai dari sumber hingga manfaatnya.

Ekstraksi tanaman asli Indonesia, seperti jahe, mahkota dewa, daun legundi, dan daun saga, yang diteliti, dikembangkan, dan diproduksi sebagai bahan baku obat herbal di laboratorium riset Dexa Laboratories of Biomolecular Science milik PT Dexa Medica di Kawasan Industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (27/1/2016).


Ekstraksi tanaman asli Indonesia, seperti jahe, mahkota dewa, daun legundi, dan daun saga, yang diteliti, dikembangkan, dan diproduksi sebagai bahan baku obat herbal di laboratorium riset Dexa Laboratories of Biomolecular Science milik PT Dexa Medica di Kawasan Industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (27/1/2016).

Tantangan

Dari sudut pandang manufaktur, persetujuan obat-obatan herbal terkadang hanya didasarkan pada komposisi bahan baku dan memastikan tidak ada kontaminan manufaktur, seperti logam berat atau mikroba.


Oleh karena itu, profiling bahan kimia atau standardisasi dan metodologi yang diikuti selama produksi memegang peranan yang krusial karena komposisi dari produk akhir obat-obatan herbal sangat bergantung pada bahan baku dan seluruh langkah pembuatannya. Keseluruhan kandungan kimia dalam produk akhir juga ditentukan pada beberapa faktor, seperti lingkungan tempat tumbuhnya tanaman, waktu panen, dan metode yang digunakan dalam proses industri yang terinci.


Selain itu, produk suplemen herbal merupakan campuran zat yang kompleks dengan efek multifaktorial. Oleh karena itu, produsen obat herbal harus menggunakan pendekatan ”fingerprinting” dalam proses produksinya.


Fingerprinting adalah teknik analisis yang digunakan untuk menghasilkan profil karakteristik produk obat herbal berdasarkan komposisi kimianya untuk memastikan konsistensi obat herbal yang dihasilkan. Metode ini juga didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 1961, yang mengakui bahwa tanaman obat mengandung ratusan metabolit (senyawa), dan beberapa di antaranya hadir dalam jumlah sangat kecil.


Dengan demikian, mengidentifikasi senyawa penanda tanaman obat dan produk yang berasal dari bahan-bahan tersebut sangat penting untuk melacak proses produksi. Kandungan dalam bahan yang sudah diproses harus tetap konsisten untuk mendukung klaim bahwa properti yang didokumentasikan valid dari satu batch ke batch berikutnya.


Berbagai teknik, seperti high-performance liquid chromatography (HPLC), high-performance thin layer chromatography (HPTLC), gas chromatography (GC), mass spectrometry (MS), dan nuclear magnetic resonance (NMR), digunakan dalam pendekatan fingerprinting. Metode ini memberikan data lengkap tentang metabolit dalam obat herbal, termasuk komposisi, senyawa penanda, perhitungan bahan aktif dalam suplemen, dan deteksi kotoran atau kontaminan. Sidik jari memastikan bahwa produk herbal lain tidak dapat mengeklaim data bioekuivalensi untuk produk yang sudah ada atau beredar.


    Masalah muncul ketika pasien beralih dari satu produk ke produk lain tanpa bertanya kepada spesialis medis mereka.


Untuk obat kimia di Indonesia, bioekuivalensi digunakan untuk menentukan senyawa dalam obat generik atau obat berlogo OGB. Obat ini sering diresepkan oleh dokter di fasilitas milik pemerintah, seperti puskesmas, rumah sakit, atau apotek, karena harganya yang terjangkau. Praktik ini diatur dalam peraturan menteri kesehatan untuk menetapkan standar obat murah dengan data bioekuivalensi yang terverifikasi.


Ketika suatu obat memiliki data bioekuivalensi yang memenuhi standar, pasien dapat menghindari variasi kualitas yang menyimpang dari obat standar yang telah dipatenkan sebelumnya. Ini sangat penting bagi pasien yang secara aktif minum obat untuk penyakit tertentu, seperti cedera otak atau stroke.


Mirip dengan obat kimia, obat herbal yang berasal dari proses yang berbeda harus secara teori pertama-tama menunjukkan bioekuivalensi, yang mengacu pada kesamaan biokimia antara dua obat yang tampaknya memiliki ”bahan aktif yang sama”. Namun, karena kompleksitasnya, produk jamu biasanya memiliki perbedaan pada fingerprint yang mengakibatkan perbedaan pada sifat produk.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan hasil penelitian pengembangan obat tradisional Indonesia di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (30/4/2019).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN


Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan hasil penelitian pengembangan obat tradisional Indonesia di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (30/4/2019).


Masalah muncul ketika pasien beralih dari satu produk ke produk lain tanpa bertanya kepada spesialis medis mereka. Perubahan produk dapat mengakibatkan interaksi obat baru, perubahan keamanan, atau hilangnya khasiat. Hal yang sama berlaku ketika memutuskan untuk menggabungkan obat kimia dan obat herbal.


Selanjutnya, mencari pilihan pengobatan alternatif berdasarkan biaya yang lebih rendah harus dihindari karena obat herbal yang lebih murah sering kali tanpa bioekuivalensi dan data paten yang terdokumentasi. Hal ini dapat menimbulkan risiko interaksi buruk yang lebih tinggi ketika dikonsumsi bersamaan dengan obat kimia. Mencari produk berdasarkan harga terendah juga membuat konsumen dan profesional kesehatan menghadapi risiko tambahan.


Tekanan harga obat herbal yang murah mendorong produk untuk dipalsukan atau secara sengaja mengabaikan proses produksi yang benar, di mana bahan bakunya sebenarnya bukan tanaman obat yang diharapkan, tetapi spesies lain yang lebih murah dan berbeda secara kimiawi. Hal yang sangat memprihatinkan adalah risiko produk palsu, yang sengaja dibuat agar terlihat seperti merek yang dibuat dengan benar. Produk palsu ini kemungkinan besar tidak efektif dan berpotensi berbahaya.


Salah satu cara untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan sertifikasi independen berbasis bukti.


Produk obat herbal secara definisi adalah produk kesehatan alami. Oleh karena itu, hasil akhir produk dapat sangat bervariasi dengan proses produksi yang kompleks, terutama produk kesehatan alami yang memiliki ribuan sumber berbeda. Hal ini berarti bahwa dokumentasi bukti yang mendukung produk kesehatan alami hanya dapat berupa produk dan merek tertentu.


Empowered by Evidence, sebuah yayasan nirlaba internasional, adalah organisasi internasional spesialis kesehatan alami, peneliti, dokter, dan perusahaan yang telah berinvestasi dalam penelitian ilmiah untuk produk mereka. Salah satu perusahaan tersebut adalah perusahaan terkemuka Indonesia, PT Soho Global Health.

Empowered by Evidence telah mengembangkan standar akreditasi yang independen, kuat, dan transparan untuk menilai produk specific evidence. Produk yang lulus akreditasi ini telah menetapkan konsistensi dalam manufaktur serta bukti ilmiah dan klinisnya. Dengan demikian, Empowered by Evidence dan banyak anggota ahlinya di seluruh dunia menegaskan bahwa tidak ada obat generik herbal yang sederhana.

Simpulan

Dengan mempromosikan pemahaman tentang produksi, kontrol kualitas, dan penggunaan obat-obatan herbal, konsumen dapat membuat keputusan yang cerdas dan tepat. Profesional di bidang kesehatan juga harus memiliki pengetahuan komprehensif tentang keamanan, kualitas, dan khasiat obat herbal untuk memastikan kesejahteraan dan kesehatan pasien mereka. Sertifikasi bukti yang dimiliki oleh produsen perihal komposisi dan bukti klinis dan farmakologi produknya merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai hal ini.

Michael Heinrich, Wakil Presiden Society for Medicinal Plant and Natural Product Research; Kepala dan Profesor di Pusat Farmakognosi dan Fitoterapi, University College London (UCL), dan School of Pharmacy, London

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/02/memahami-manfaat-dan-risiko-obat-herbal

Komentar